Cara ‘Gila’ Kepala Daerah untuk Sekolah Dasar Bermutu

Standar

Oleh Mammaqdudah*

Perbincangan dan perdebatan tentang mutu sekolah dasar sampai saat ini tak kunjung selesai. Hal tersebut muncul karena kondisi di lapangan bahwa sekolah dasar kita memang belum memenuhi harapan masyarakat. Harapan masyarakat adalah sekolah yang memiliki kualitas yang baik, dalam arti lulusan mampu bersaing ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, guru yang berkualitas, gedung yang bagus dengan prasarana  yang memadai.

Ridwan Abdullah Sani dkk. (2015:1) melihat mutu sekolah dari dua kacamata. Pertama dari segi kacamata pengguna dan dari segi kacamata pemerintah. Dari segi kacamata pengguna, sekolah bermutu mutu itu katanya berkaitan dengan sekolah yang memiliki akreditasi A, guru yang profesional, hasil ujian nasional memuaskan, peserta didik memiliki prestasi dalam berbagai kompetensi serta peserta didik memiliki karater yang baik. Sementara dari segi kacamata pemerintah, sekolah yang bermutu adalah sekolah yang memenuhi standar nasional pendidikan dengan kriteria lulusan yang cerdas komprehensif, kurikulum yang dinamis sesuai dengan kebutuhan zaman, proses pembelajaran yang berorientasi pada siswa dan dilengkapi dengan sistem penilaian dan evaluasi pendidikan yang sahih, guru dan tenaga kependidikan yang profesional, sarana dan prasarana yang lengkap, sistem manajemen yang akurat dan handal serta pembiayaan pendidikan yang efektif dan efesien[1].

Berdasarkan paparan di atas, penekanan dan orientasi sekolah bermutu baik dari segi kacamata pengguna maupun dari kacamata pemerintah tak jauh berbeda. Penekanannya pada peserta didik yang berprestasi gemilang, guru yang hebat, parasarana dan manajemen yang juga hebat.

Lalu pertanyaannya adalah, apakah sekolah dasar kita telah memenuhi kriteria di atas dan telah memenuhi harapan masyarakat? Tentu harus dengan berat hati kita menjawabnya belum memenuhi harapan sama sekali. Masih jauh dari panggang api. Kalau pun ada, tak banyak dan itu pun dikelola oleh sekelompok masyarakat atau pihak swasta. Karena biaya yang mahal, maka hanya sebagian orang saja yang bisa bersekolah di sana.

Seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Artinya, pendidikan yang bermutu itu bukan hanya milik sekelompok orang atau perorangan saja, namun milik semua orang. Pendidikan yang bermutu itu tidak hanya bisa diakses oleh orang yang tinggal di perkotaan saja, namun juga bisa diakses oleh mereka yang tinggal di pedesaan. Tidak ada sekat jarak. Tidak ada sekat suku. Tidak ada sekat demografis dan seharunsya memang tidak ada penyekat. Dan tugas pemerintahlah yang memberikan jaminan mutu terhadap sebuah sekolah.

Mutu pendidikan memegang peran penting bagi pembentukan kualitas sumber daya manusia dalam suatu daerah bahkan bagi suatu bangsa. Berkembang dan maju tidaknya suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya manusia di daerah itu. Daerah yang memiliki kualitas pendidikan yang baik, tentu menghasilkan kualitas sumberdaya manusia yang baik. Jadi, kualitas sumberdaya manusia yang ada pada suatu daerah bukan ditentukan oleh seberapa banyak sumber daya alam yang ada dimiliki daerah tersebut, melainkan ditentukan oleh kualitas pendidikan di daerah tersebut. Untuk itu, langkah prioritas utama dalam membangun suatu daerah adalah bagaimana membangun kualitas sumberdaya manusianya. Dan kualitas sumber daya manusia dibangun melalui pendidikan yang bermutu.

Pentingnya akan pendidikan yang berkualitas seharusnya menjadi perhatian banyak kepala daerah. Sudah seharusnya kepala daerah memikirkan dan melakukan tindakan atau langkah nyata dalam membangun kualitas pendidikan di daerahnya, bukan pada tataran slogan atau pada tataran janji-janji.

Pendidikan yang bermutu salah satu caranya dapat  diperoleh dari sekolah yang bermutu. Sekolah yang bermutu adalah harapan dan cita-cita semua orang. Tapi sekali lagi, kita sulit menemukan sekolah dasar, yang berkualitas dan bermutu itu. Bahkan yang sangat menyedihkan lagi sekolah dasar kita banyak yang belum memenuhi standar yang ada, dan bisa dikatakan tak layak untuk disebut sebuah sekolah.

Dari data yang ada, per Maret 2017, dari 1.048.556 ruang kelas sekolah dasar, 75 persen diantaranya dalam kondisi rusak. Rinciannya, rusak ringan 589.359 kelas (56 persen) rusak sedang 69.897 kelas (7 persen) dan rusak berat 123.050 kelas (12 persen). Sementara itu, 41 persen dari 148 ribu sekolah dasar di Indonesia belum memiliki perpustakaan. [2] Jumlah ruang kelas rusak pada sekolah dasar bisa juga lebih banyak dari data di atas karena belum terlaporkan dengan maksimal atau bisa juga jumlah kerusakan itu lebih sedikit, yang itu ditentukan oleh metode pelaporan yang digunakan atau instrumen apa yang digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan tersebut.

Ibarat Pondasi

Sekolah dasar ibaratnya adalah sebuah pondasi sebuah rumah. Kekuatan dan kualitas sebuah rumah ditentukan bagaimana pondasi rumah itu dibuat dan diolah. Dinding rumah tidak akan kokoh jika tidak ditopang dengan pondasi yang kokoh. Atap rumah pun tak akan kokoh jika tidak ditopang dengan pondasi rumah yang kokoh. Maka pondasi merupakan unsur vital bagi pembentukan sebuah rumah. Rumah yang kuat, diawali dengan pondasi yang kuat.

Sekolah dasar juga dapat diibaratkan akar sebuah pohon. Ranting dan daun tidak akan rimbun jika akar dari pohon itu tidak sempurna. Pohon tidak akan tegak dengan sempurna jika tidak memiliki akar yang kuat.

Maka dari itu sekolah dasar ibarat pondasi rumah dan akar sebuah pohon. Sebagai pijakan dan sebagai pondasi, maka sekolah dasar harus kuat dalam artian harus berkualitas. Sekolah dasar itu sebagai pondasi bagi peserta didik untuk melangkah ke jenjang selanjutnya. Apabila sekolah dasar yang itu diibaratkan sebagai pondasi, tak memiliki kekuatan dalam artian dan tak berkualitas, maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, terutama bagi mereka yang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Rumah yang tidak ditopang dengan pondasi yang kuat, maka akan segera roboh. Begitupun dengan akar pohon yang tak kuat, maka akan mudah bagi pohon itu tumbang atau mati. Untuk itu hal-hal yang mendasar atau kebutuhan dasar harus terpenuhi. Seorang atlet bela diri tidak akan bisa sukses jika ia tidak menguasai dasar-dasar ilmu beladiri. Seorang ahli matematika tidak akan menjadi ahli jika ia tidak menguasai teori dasar matematika.

Jadi bisa kita bayangkan jika sekolah dasar itu tak berkualitas, apa yang akan terjadi dengan lulusan? Bagaiamana kemudian berbagai dasar tentang kompetensi pelajaran, dasar karakter, dan dasar keilmuan dari para lulusan tersebut? Apakah mereka mampu berkompetisi pada jenjang selanjutnya? Lalu bagaimana dampak hal ini bagi kualitas seumber daya manusia di daerah itu dan dampak bagi pembangunan di daerah itu?

Maka dari itu, sudah seharusnya pemerintah daerah memikirkan hal tersebut. Bagaimana pemerintah daerah, terutama pemerintah kabupaten/kota lebih memainkan perannya dalam meningkatkan kualitas sekolah dasar yang ada di daerahnya. Hadirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola pendidikan dasar secara maksimal. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa kewenangan pengelolaan pendidikan menengah dan pendidikan khusus ada di pemerintah provinsi dan pengelolaan pendidikan dasar, pengelolaan pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal ada di pemerintah kabupaten/kota.

Pemberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengelola pendidikan dasar seharusnya menjadi tantangan dan pemacu, menjadi alat dan senjata bagi pemerintah kabupaten/kota untuk berbuat lebih maksimal lagi. Peran pemerintah kabupaten/kota sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 harus lebih hebat lagi dalam pengelolaan pendidikan dasar di daerahnya.

Prioritas Mutu Guru

Jika harus diajukan pertanyaan, apa yang harus diutamakan pemerintah kabupaten/kota dalam peningkatan kualitas pendidikan sekolah dasar di daerahnya? Apakah mengutamakan kurikulum yang baik, mengutamakan peningkatan kualitas guru, mengutamakanan pemenuhan sarana dan prasarana yang maksimal atau mengutamakan manajemen sekolah yang handal? Tentu semuanya harus saling beriringan dan saling berkesinambungan. Namun, semua itu harus ada skala prioritas. Maka dari itu jika harus memilih mana yang harus diutamakan dari sekian opsi di atas, pilihannya adalah mengutamakan peningkatan kualitas guru atau tenaga pendidik.

Guru menjadi pilihan utama karena gurulah yang memegang peran penting dalam peningkatan sekolah dasar di suatu daerah. Apa gunanya kurikulum yang baik, apa gunanya sarana yang memadai dan manajemen yang handal jika guru yang ada di sekolah tak memiliki kualitas, tidak memiliki kompetensi sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.

Sejumlah pendidikan dan pelatihan telah dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk meningkatkan kualitas guru. Namun, hasilnya belumlah maksimal dan belum memuaskan. Berdasarkan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) pada tahun 2015 yang dilaksanakan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, nilai rata-rata hanya 53,02 dari standar nilai 55[3]. Artinya komptensi guru kita belum sesuai dengan harapan.

Untuk itu harus ada langkah ‘gila’ yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan kualitas guru sekolah dasar yang ada di daerahnya. Pola rekrutmen guru harus didesain sebaik mungkin agar menghasilkan guru yang memiliki kompetensi. Bukan ketika sudah menjadi guru kompetensi sesuai dengan Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 itu diperoleh, namun ketika ia menjadi calon guru kompetensi itu harus sudah dimiliki.

Pemerintah kabupaten/kota harus merekrut calon guru ini dari lulusan SMA/SM/MA melalui seleksi khusus dan selektif dengan memperhatikan instrumen penilaian atau tes yang baik. Mereka yang lulus seleksi kemudian dikuliahkan atau disekolahkan pada lembaga pendidikan yang dibuat seperti sekolah kedinasan seperti Institute Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) atau Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN). Setelah lulus kuliah mereka akan ditempatkan di sekolah dasar dengan status pegawai negeri sipil.

Berapa jumlah calon guru yang harus dikuliahkan? Jumlah itu dapat dilihat dari berapa jumlah guru yang akan pensiun pada lima tahun kedepan. Calon guru yang lulus pendidikan akan menggantikan guru yang pensiun tersebut. Selain dari guru yang pensiun, jumlah calon guru yang dikuliahkan juga dengan melihat trend perkembangan jumlah siswa. Instansi terkait dalam pemerintah kabupaten/kota harus melihat bagaimana trend pertambahan jumlah penduduk usia masuk sekolah setiap tahun di daerahnya.

Saat ini memang belum ada lembaga pendidikan kedinasan khusus guru seperti lembaga kedinasan yang disebutkan di atas. Harus ada laboratorium khusus untuk mencetak guru sekolah dasar. Untuk itu, sudah saatnya kepala daerah kabupaten/kota memikirkan dan merealisasikan tersebut. Melalui Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) dan melalui Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) hal itu dapat dibicarakan dan diwujudkan. Pemerintah pusat, tentu akan mendukung dalam rangkat majunya kualitas pendidikan di negara ini. Sekolah atau lembaga pendidikan ini nantinya akan berdiri di sejumlah wilayah, seperti Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimatan dan di wilayah lainnya jika memang dibutuhkan.

Pola ini memang tidak serta merta bisa terwujud dengan gampang. Ibarat kata orang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun tidak salahnya jika dilakukan dan dicoba, asal bukan coba-coba. Sudah saatnya harus ada langkah ‘gila’ dari kepala daerah untuk meningkatkan kualitas sekolah dasar di daerahnya.

*Penulis adalah penikmat sastra tinggal di Air Itam Pangkalpinang.

[1] Ridwan Adullah Sani-Isda Pramuniati-Anies Mucktiany, Penjaminan Mutu Sekolah, Bumi Aksara, Jakarta, 2015, hlm.1

 

[2] Majalah Guru Edisi 6 Tahun III Mei 2017, Revitalisasi Komite Sekolah Gotong Royong Tingkatkan Kualitas Sekolah,  halaman 42.

[3] Inilah Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) Tahun 2015 diakses dari http://www.sekolahdasar.net/2016/01/inilah-hasil-uji-kompetensi-guru-ukg.html pada tanggal 4 Oktober pukul 14.40 WIB

Anakku Menulis Puisi

Standar

GambarBeberapa hari lalu, puteriku menunjukkan puisi yang ia tulis. Aku terperangah, kapan ia menulisnya!

Puisi itu ia tulis di dua lembar kertas bergaris. Ia tulis menggunakan pensil, yang sudah barang tentu tulisannya tidak lah rapi. Untuk kerapian saya  harap maklum untuk usianya. Kemakluman saya juga saya akui dengan kerapian tulisan saya. Kalau ayahnya saja tulisannya tidak rapi, bagaimana dengan anaknya.

Namun saya tidak mempersoalkan kerapian tulisan tersebut. Yang penting bagi saya adalah ada keinginan dari anak saya untuk menulis puisi. Saya juga tidak mempersoalkan bagaimana kualitas tulisannya. Yang penting bagi saya ia sudah berniat untuk menulis.

Ia tergerak untuk menulis puisi, mungkin karena ia sering membaca puisi anak-anak yang dimuat di Majalah Bobo. Majalah ini awalnya dibelikan setiap seminggu sekali oleh istri saya. Namun, kini kami berlangganan biar untuk memudahkan saja.

Keinginan saya ia akan terbiasa untuk menulis. Menulis apapun. Selamat Nak, semoga akan ada lagi tulisan-tulisanmu.

Ibu

Ibuku baik hati

Wajah ibuku berseri seri

Ku dirawat setiap hari

Makanku selalu dijaga

Ibuku suka bercerita

Cerita selalu menarik hati

Aku senang mendengarnya

Hingga tertidur dibuatnya

Guru

Guru baik padaku

Bila belajar ditemaninya

Guru menjagaku saat aku selesai

Kusuka guru

Guru saat ku pindah sekalian

Kau selalu menyayangiku

Kusayang pada guruku

Ayah

Ayah kau selalu

Menyayangiku sejak kecil

Kau juga memberi namaku

Minta doa padamu

Maafkan aku selalu ada kesalahan

TEPALAK DAN SELUANG

Standar

Penghujung 2012. Sabtu, 29 Desember tepatnya, langit Pangkalpinang nampak mendung. Cuaca di setiap penghujung Desember memang selalu tak bersahabat khususnya bagi pelancong. Namun janji adalah hal penting yang harus diselesaikan, maka dengan sepeda motor yang saya beli seharga Rp. 9 juta lebih pada tahun 2006, maka saya pun melaju untuk menyelesaikan janji itu. Read the rest of this entry

Ngecok

Standar

Ngecok memang tak asing bagi ‘aktivis’ lapangan di Pangkalpinang. Kata ini terkesan begitu familiar bagi mereka, tentunya bagi saja juga. Bahkan beberapa teman, termasuk saya juga sering menggunakan istilah ini untuk memberikan sindirian kepada seorang teman ketika ia bertandang ke suatu tempat. Apakah kamu juga memahami istilah ini?

Seorang pelajar SMK di Pangkalpinang sengaja saya tanya apakah ia memahami istilah ngecok. Walau sempat berpikir, akhirnya ia memberikan jawaban tak tahu. Saya bisa paham mengapa ia tak mengetahui istilah itu, karena ia masih berstatus pelajar dan memang pergaulannya belum banyak bersentuhan dengan kehidupan ‘aktivis’ di lapangan.

Sementara seorang kepala SD di Pangkalpinang ketika tanya istilah itu dengan lantang menjawab tahu. “Ngecok itu meres,” katanya lantang.  Saya menduga jangan-jangan, kepala sekolah ini pernah menjadi korban dari para pengecok. Semoga saja tidak. Sebab tak etis juga saya harus melanjutkan pertanyaan apakah ia pernah menjadi korban para pengecok. Read the rest of this entry

PERAI

Standar

Kata itu meluncur dari mulut teman. Sungguh, kata itu sudah lama tak saya dengar. Saat ia mengucapkan kata itu, saya teringat masa kecil saya. Bagi saya dan teman-teman malam itu yang mengurus keredaksian, kata PERAI terasa membahagiakan.
PERAI dalam bahasa Bangka diartikan libur. Masyarakat Bangka dulu memang menggunakan kata PERAI dibandingkan kata libur, untuk menandai hari bebas kerja. Konteks penggunaan kalimatnya seperti ini, Isok pagi kite perai ape dak ge.” Jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya kira-kira seperti ini, besok pagi kita libur atau tidak.
Namun kata itu sudah lama tak digunakan bagi kebanyakan masyarakat Bangka. Tetapi teman saya malam itu bukan salah satunya.

Memetakan Langkah untuk Menyelamatkan Bahasa Melayu Bangka

Standar

Berdasarkan catatan Multamia MT Lauder (Kompas,12 Agustus 2008), ada 169 bahasa di Indonesia yang terancam punah. Jika catatan Multamina adalah benar, maka hal ini akan menjadi hal yang mengerikan. Jika tidak ada tindakan, maka akan semakin banyak bahasa yang akan mengalami kepunahan.

 Tak cuma bahasa di Indonesia yang terancam punah, bahkan banyak juga bahasa di dunia ini  mengalami hal yang serupa. Pergerakan ke arah kepunahan itu terutama terjadi di negara-negara berkembang dan miskin.

Menurut Grimes dan Landweer yang dikutif Gufran Ali Ibrahim dalam makalahnya yang disampaikannya pada Kongres Internasional IX Bahasa Indonesia di Jakarta, 28 Oktober s.d. 1 November 2008, penyebab utama kepunahan bahasa-bahasa adalah karena para orangtua tak lagi mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anaknya dan tidak lagi secara aktif menggunakannya di rumah dalam berbagai ranah komunikasi. Sebab yang lainnya adalah, bukan karena penuturnya berhenti bertutur, melainkan akibat dari pilihan penggunaan bahasa sebagian besar masyarakat tuturnya. Read the rest of this entry

Ada-ada Saja Ulah Si Caleg

Standar

Baliho ini benar-benar menuai tanggapan dari banyak orang. Mungkin Anda yang kebetulan melihatnya, juga akan memberikan komentar. Mungkin komentar Anda akan lebih aneh lagi.caleg

Suatu ketika saya berhenti di lampu merah. Sebuah baliho berukuran 2×2 cm berdiri tegak. Sekilas memang tak ada yang beda dengan baliho ini. Tapi setelah diperhatikan dengan saksama, sunggu benar-benar beda. Apa sebab?

Jika Anda atau saya menjadi caleg mungkin akan melakukan hal serupa. Memasang baliho di jalan-jalan, di pohon, di pagar tetangga, di lahan-lahan kosong. Pokoknya, asal ada tempat harus dipasang. Nah pada musim Pilkada ini, musim keramaian yang mengerut kening. Di mana-mana, baliho, spanduk, poster para caleg hampir menguasai lahan kota.

Untuk baliho caleg yang satu ini menampilkan bentuk dan corak yang agak aneh. Saya anggap aneh karena gambar pendukungnya ‘lucu’. Gambar pertama tentang makam bung Karno. Bahkan gambar itu didukung tulisan Makam Alm. Bung Karno Blitar. Tampak bayangan macan putih sedang menjilati anaknya. Yang kedua (tengah) gambar sebuah kris, dengan tulisan “Bayu Bumi” kenang-kenangan dari alm. Bung Karno semasa pengasingan di Pulau Bangka. Dan yang ketiga gambar si caleg yang memegang tongkat dengan latar belakang gambar Bung Karno. Read the rest of this entry

Sekali Lagi, Meyontek!

Standar

Minggu lalu saya mengawasi ujian akhir semester mahasiswa Universitas Terbuka (UT). Sebenarnya saya sudah menduga akan ada sesuatu yang akan terjadi, namun firasat itu saya buang jauh-jauh…

Hari itu saya mengawasi ujian untuk tiga mata mata kuliah di ruangan yang sama. Seperti biasa, saya tak banyak basa-basi kepada peserta ujian. Bahkan untuk membaca tata tertib pelaksanaan ujian pun tidak saya lakukan. Saya pikir, itu tak prinsip karena peserta sudah paham soal hak dan kewajibannya masing-masing, termasuk kewajiban dan hak saya sebagai pengawas yang ditugaskan UT Pangkalpinang untuk melaksanakan pengawasan ujian itu.

Peserta ujian kali ini adalah mahasiswa D2 PGSD yang melajutkan ke jenjang S1. Mereka adalah guru sekolah dasar yang ada di Belinyu dan di Sungailiat. Sehabis subuh mereka sudah melangsang menuju Pangkalpinang, berharap tak telat mengikuti pelaksanaan ujian. Jumlah peserta di ruangan itu ada 20 orang, hanya satu peserta laki-laki, lainnya perempuan. Saya tahu mereka kuliah karena dibiaya pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Namun saya tak memiliki data pasti berapa bantuan atau beasiswa yang didapatkan mahasiswa ini.

Saya kagum kepada ‘niat’ para guru ini untuk melanjutkan pendidikan, walau umur mereka sudah terbilang tua. Rata-rata umur mahasiswa itu 45 sampai 50-an tahun. Data itu saya lihat dari tanggal kelahiran mereka yang ada di LJK dan dikumpulkan kepada saya.
Soal ‘niat’ ini yang menjadi masalahnya. Apakah memang ingin mendapatkan pengetahuan baru untuk memperkaya pengetahuan yang sudah ada, atau sekadar ingin medapatkan ijazah. Sebab dengan mendapatkan ijazah S1, mereka bisa mengikuti ujian sertivikasi, yang artinya jika lulus ujian sertvikasi itu, maka gaji naik dua kali lipat. Pemerintah membuat patokan, salah satu syarat bagi guru untuk ikut dalam sertivikasi adalah memiliki ijazah S1.

Untuk mendapatkan ijazah ini, pemerintah memberikan beasiswa kepada guru dan bekerjasama dengan UT untuk menyelenggarakan perkuliahan itu. Mungkin di sanalah biangnya. Saya memang khawatir dengan perkuliahan ala UT ini. Kuliah yang dipadatkan dua hari pertemuan seminggu, bagi saya tak akan maksimal hasil yang diperoleh. Bagaimana tidak, mahasiswa yang juga guru yang sudah ‘tua’ harus konsentrasi dengan perkuliahan, pekerjaan mengajar, dan mengurus rumah tangga. Saya pikir kesempatan guru untuk belajar, membaca buku yang diberikan oleh UT minim sekali, apalagi buku lainnya yang terkait dengan mata kuliah. Kosentrasi mereka tentu akan ‘pecah’ dengan hal-hal yang lainnya. Kuliah ala UT ini memang tak efektif. Sepertinya hanya mengejar target dan target. UT kurang memerhatikan bagaimana beban psikolgis mahasiswa.

Pengakuan ini pun diakui peserta ujian di ruangan saya. “Pak kami tak sempat untuk membaca buku,” kata salah seorang peserta yang diamini oleh peserta lainnya.
Firasat saya pun terjadi. Para peserta ujian yang sudah tua-tua ini meminta agar diberikan kesempatan untuk membuka buku atau diperbolehkan menyontek. Saya tentu tak bisa menerima permintaan itu, bagi saya jika memperbolehkan peserta menyontek akan gimana gitu. Lagi-lagi alasan yang mereka kemukakan karena tak sempat membaca buku. Kesibukan mereka mengajar dan mengurusi keluarga, menyebabkan mereka tak kosentrasi dengan perkuliahan. Dalam hati saya hanya bisa mengatakan bahwa itu urusan ibu-ibu dan bapak-bapak, bukan urusan saya. Kalau nggak bisa mengatur waktu, ya jangan kuliah. Kalau nggak sanggup lagi untuk belajar di perkuliahan, ya nggak usah kuliah. Tapi itu hanya saya ucapkan di dalam hati, sebab saya tak ingin menyinggung perasaan mereka.

Malah ada seorang peserta ( ibu-ibu yang sudah tua) meminta kebaikan saya agar dia diperbolehkan membuka buku. Dan kebaikan itu katanya akan dibalas oleh Tuhan. Lalu saya berpikir apakah membiarkan peserta ujian menyontek itu namanya kebaikan? Apakah Tuhan akan memberikan balasan kebaikan atas apa yang saya lakukan? Ah, sesederhana itukah orang menafsirkan kebaikan Tuhan?

Mengawasi ujian UT beberapa hari lalu memang menjadi beban bagi saya. Bahkan saya disebut seorang peserta kejam. Ini terjadi karena saya menegur peserta untuk menyimpan buku yang dibukanya hampir mendekati bagian atas meja. Ini memang beban bagi saya. Benarkah saya kejam? Hanya karena saya menegur peserta yang membuka buku. Ah aneh-aneh saja sifat mahluk yang ada di bumi ini.
Tentu saya dalam posisi dilematis. Yang saya awasi adalah guru-guru SD yang umurnya sudah tua, dimana mereka ingin lulus ujian sehingga bisa mengikuti sertivikasi. Namun saya juga tak bisa membiarkan kecurangan itu. Saya tak ingin ini terjadi. Saya ingin mengubah masa depan dengan hal yang baik, dengan hal yang jujur.

Walau saya tak memberikan restu mereka membuka buku, ada juga peserta yang di belakang, kucing-kucingan membuka buku. Benarkah ini wajah pendidikan kita? Seorang guru ternyata menyontek juga! Guru yang melarang siswanya menyontek ketika ulangan, ternyata juga melakukannya! Ha….ha saya hanya bisa tertawa di dalam hati melihat kejadian ini. Tapi saya tak ingin mengatakan atau menceramahi peserta yang sudah tua-tua ini. Saya anggap mereka sudah paham tentang ini. Atau mungkin dalam kondisi seperti itu, bisa juga saya melakukannya.

Kondisi pelaksanaan ujian UT di mana-mana mungkin rawan kecurangan. Tak ada yang bisa menapik itu. Bahkan ada pengawan yang merestui mahasiswa menyontek. Bahkan salah seorang teman mendapat amplop berisi uang ratusan ribu dari peserta yang diawasinya. Ternyata peserta sudah melakukan kesepakatan, pengawas yang melegalkan mereka menyontek akan mendapat hadiah. Ya itu tadi buktinya!

Saya tak tahu dimana letak kesalahan ini. Apakah UT yang memang gegabah dengan perkuliahaan seperti itu, atau memang pribadi-pribadi orang Indonesia yang memang seperti itu. Lalu apakah harus terus seperti ini wajah pendidikan kita? (*)

Kisah Perempai

Standar

hujan kadang lebat kadang cepat

sering juga berkelabat

menyapu butir-butir debu

yang bergulir di andir sendu

siapa yang menemukan hati yang resah

saat aroma wangi diraba lobang pori,

terkikis dihanyut hujan

menggelanang di bandar-bandar besar

dicium rumput, bergelut bersama maut

menempel di ujung tali

berserabut mencipta maut

di sana perempai masih saja tegar

melekat di ujung tali berserabut mencipta kabut

di sana perempai masih saja tegar

saat gelombang bertubi-tubi datang mencium,

menggoyang dan menggerayang

di sinilah aku memulai

tentang kisah sepasang perempai

yang sering mengurai bajuku

dan baju-baju tetanggaku

kala hujan dan panas memancar

kala warna awan tak beraturan

kala angin mempercepat kelam

perempai itu menunggu waktu

lidah-lidahnya ke luar menjalar

badan-badanya kering

tubuh-tubuhnya langsing

bau-baunya pesing

kulit-kulitnya kering

di sinilah aku memulai

tentang kisah perempai yang lunglai

dimakan api, asap, dan kabut

tentang akar yang tak menjalar

didendang daun, cabang, dan ranting

tentang tanah yang tak mau kalah

di sinilai aku selesai

tentang kisah sepasang perempai